- Masa kemerdekaan
Pada awal dicetuskannya kemerdekaan RI 17 agusutus 1945 yang menandai
penggabungan seluruh daerah nusantara kedalam negara kesatuan, Rakyat gowa
tampil berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin
kembali menjajah. Daerah gowa merupakan basis utama gerakan perjuang kemerdekaan,
Seperti Lipang Bajeng, Macan Putih (Macan keboka), Harimau Indonesia seta
pimpinan pejuang lainnya. Beberapa tokoh seperti Ranggong Daeng Romo, Emmy
Saelan dan beberapa putra-putri terbaik lainnya telah gugur di medan laga dalam
mempertahankan tanah air dari cengkraman belanda. Peristiwa tragis terjadi
ketika pasukan westerling melakukan penyisiran di seluruh pelosok Sulawesi
Selatan, dan peristiwa itu terkenal dengan nama korban 40.000 jiwa di Sulawesi
Selatan pada bulan Desember tahun 1946.
Di zaman NIT (Negara Indonesia) ketika Raja Gowa Andi Idjo Lalolang Putra pertama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo (Raja Gowa XXXV) dilantik pada 25 april 1947. Walaupun pengangkatannya disahkan pemerintah Belanda pada 5 September 1946. Untuk membentuk pelaksana kegiatan pemerintahan Raja gowa telah mengangkat 5 pejabat tinggi kerajaan yakni :ada awal dicetuskannya kemerdekaan RI 17 agusutus 1945 yang menandai penggabungan seluruh daerah nusantara kedalam negara kesatuan, Rakyat gowa tampil berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah. Daerah gowa merupakan basis utama gerakan perjuang kemerdekaan, Seperti Lipang Bajeng, Macan Putih (Macan keboka), Harimau Indonesia seta pimpinan pejuang lainnya. Beberapa tokoh seperti Ranggong Daeng Romo, Emmy Saelan dan beberapa putra-putri terbaik lainnya telah gugur di medan laga dalam mempertahankan tanah air dari cengkraman belanda. Peristiwa tragis terjadi ketika pasukan westerling melakukan penyisiran di seluruh pelosok Sulawesi Selatan, dan peristiwa itu terkenal dengan nama korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan pada bulan Desember tahun 1946.
Di zaman NIT (Negara Indonesia) ketika Raja Gowa Andi Idjo Lalolang Putra pertama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo (Raja Gowa XXXV) dilantik pada 25 april 1947. Walaupun pengangkatannya disahkan pemerintah Belanda pada 5 September 1946. Untuk membentuk pelaksana kegiatan pemerintahan Raja gowa telah mengangkat 5 pejabat tinggi kerajaan yakni :ada awal dicetuskannya kemerdekaan RI 17 agusutus 1945 yang menandai penggabungan seluruh daerah nusantara kedalam negara kesatuan, Rakyat gowa tampil berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah. Daerah gowa merupakan basis utama gerakan perjuang kemerdekaan, Seperti Lipang Bajeng, Macan Putih (Macan keboka), Harimau Indonesia seta pimpinan pejuang lainnya. Beberapa tokoh seperti Ranggong Daeng Romo, Emmy Saelan dan beberapa putra-putri terbaik lainnya telah gugur di medan laga dalam mempertahankan tanah air dari cengkraman belanda. Peristiwa tragis terjadi ketika pasukan westerling melakukan penyisiran di seluruh pelosok Sulawesi Selatan, dan peristiwa itu terkenal dengan nama korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan pada bulan Desember tahun 1946.
- Andi baso Dg Rani Karaeng Bonto Langkassa sebagai Tumabbicara Butta.
- Andi Manrurungi Daeng Muang Karaeng Sumanna sebagai Tumailalang Towa
- Andi Mappasilling Daeng Ngeppe Karaeng Sapanang sebagai Tumailalang Lolo
- Andi Lauddanriu karaeng Bontonompo sebagai karaeng Tukkanjannangang
- Hamzah Daeng Tompo Gallarrang Borongloe sebagai Paccallaya
Pada tahun 1950 berdasarkan
Undang-undang NIT no. 44 tahun 1950, daerah Gowa merupakan daerah swapraja dari
30 daerah swapraja lainnya dalam pembentukan 13 Daerah di Indonesia bagian
timur. Tetapi umurnya tidak lama stelah NIT bubar, dan negara kesatuan
menerapkan sistem pemerintahan perlementer berdasarkan UUDS 1950.
Pada zaman NIT dalam kurung waktu
1946-1950 Raja Gowa Andi Idjo diangkat menjadi Wakil Ketua Hadat tinggi yaitu
majlis Pemerintahan Gabungan Celebes Selatan. Yang menjadi ketua Hadat Tinggi
yaitu Raja Bone Andi Pabbenteng Dg Palawa. Hadat tinggi ini mengalami goncangan
hebat setelah RIS terbentuk sebagai hasil KMB Desember 1949. Gelombang
demokratis rakyat makassar menuntut pembubaran NIT, dan meminta seluruh rakyat
NKRI bergabung yang berpusat di Yogyakarta.
Karena kegoncangan ini melanda Hadat
tinggi, maka Andi Idjo kemudian mengambil alih pimpinan sebagai pejabat Ketua
Hadat pada 25 april 1950. Selanjutnya dinyatakan Sulaesi Selatan keluar dari
ikatan ketatanegaraan NIT dan masuk Republik Indonesia.
Gelombang demonstrasi yang
dipelopori oleh pemuka politik dan para pejuang revolusi yang baru bebas dari
tawanan belanda pada 5 Februari 1950 berhasil mengadakan kongres di
Polongbangkeng. Kongres itu kemudian melahirkan biro PRRI (Pejuang Pengikut
Republik Indonesia) yang diketuai Yusuf Bauti. Kemudian di seluruh sulsel
dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Melalui KNI ini, pemerintah raja-raja
diganti dengan pemerintahan sipil sesuai Undang-undang Pokok Pemerintahan
Daerah No 22/1948.
Sejarah pemerintahan Gowa mengalami
perubahan sesuai dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Setelah NIT
dibubarkan dan berlaku sistem pemerintahan perlementer berdasarkan UUDS 1950,
dan lebih khusus memenuhi Undang-undang darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah
swapraja yang bergabung dalam onderafdeling Kabupaten Makassar dibubarkan.
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1957 tentang pemerintahan daerah untuk
seluruh wilayah indonesia tanggal 18 januari 1957, segera dilaksanakan
pembentukan daerah-daerah tingkat II. Diusul keluarnya UU nomor 9 tahun 1959
sebagai penjabaran UU no 1 tahun 1957, dan mencabut UU darurat no 2 tahun 1957,
maka ditegaskanlah gowa sebagai salah satu daerah tingkat II di sulsel.
Sesuai SK Menteri dalam negeri No
U.P.7/2/24 tanggal 6 Februari 1957, Andi Idjo dikukuhkan sebagai kepala daerah
Gowa yang meliputi 12 wilayah distrik yang terbagi dalam 4 lingkungan kerja
yang disebut “Koordinatorschap yakni:
- Gowa Utara meliputi distri Mangasa, Tombolo, Patallasang, Borongloe, Manuju, Borisallo, koordinatnya di Sungguminasa.
- Gowa Timur meliputi distrik Parigi, inklusif Malino Kota dan Tombolo Pao koordinat berkedudukan di Malino.
- Gowa Selatan meliputi Limbung dan Bontonompo koordinat berkedudukan di Limbung.
- Gowa Tenggara meliputi distrik Malakaji, koordinat berkedudukan di Malakaji.
Pada tahun 1961 bentuk pemerintahan
koordinatorschap ini dihapus sesuai kebijakan terhadap seluruh wilayah Republik
Indonesia tahun 1960, diadakan reorganisasi pemerintahan distrik menjadi
kecamatan. Untuk kabupaten dari II gowa, distrik yang jumlah 12 bagian dilebur
dan dibentuk menjadi 8 kecamatan yakni :
- Kecamatan Tamalate
- Kecamatan Panakukang
- Kecamatan Bajeng
- Kecamatan Palangga
- Kecamatan Bontonompo
- Kecamatan Tinggimoncong
- Kecamatan Tompobulu
- Kecamatan Bontomarannu
Kemudian pada tahun 1971, Gowa
terpaksa dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit ditolak atas PP No. 51/1971
tentang perluasan wilayah kotamadya Ujungpandang sebagai ibukota propinsi
sulsel. Berdasarkan PP tersebut Gowa akhirnya menyerahkan sebagian wilayahnya,
yaitu kecamatan Panakukang dan Tamalate beserta desa Barombong (sebelumnya
adalah salah satu desa di kecamatan Pallangga). Jumlah seluruhnya 10 desa yang
dialihkan masuk dalam wilayah kotamadya Ujungpandang.
Terjadi penyerahan sebagian wilayah
Gowa tersebut sebenarnya oleh masyarakat Gowa sangat disayangkan, karena
dianggap telah menguburkan jejak sejarah dimasa lampau dan ciri khas Gowa
sebagai daerah Maritim. Hal tersebut mengingat Gowa justru pernah menjadi
kerajaan Maritim terbesar di kawasan Timur Indonesia, disebabkan karena kebanggaan
dan kemampuannya memanfaatkan aspek kelautan sebagai potensi wilayah strategis
dimasa lalu.
Hal ini pula yang menyebabkan warga
Gowa agar daerah lokasi benteng Somba Opu yang menjadi Taman Miniatur Sulawesi
Selatan sekarang ini tidak mengalami nasib yang sama terlepas dari Gowa masuk
Ujungpandang karena tinggal daerah itulah sebagai daerah bersejarah yang
terletak di pinggir laut yang dianggap masih tersisa menjadi kebanggaan
sekaligus potensi pembagunan Gowa.
Setelah penyerahan dua kecamatan dan
satu desa tersebut ke Ujungpandang, pemda Tk.II Gowa kemudian membentuk dua
kecamatan sebagai pengganti dari Kecamatan Tamalate dan Panakukang, Sehingga
wilayah administrasinya tetap dipertahankan sejumlah 8 kecamatan, berdasarkan
ketentuan PP No. 51 tahun 1971. Adapun kecamatan penggantinya adalah kecamatan
Somba Opu dan Parangloe.
Seanjutnya untuk memperlancar
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, masyarakat di kecamatan Tompobulu,
utamanya desa-desa yang sangat jauh letaknya dari ibu kota kecamatan Tompobulu,
maka berdasarkan SK gubernur Kepala daerah tingkat I SULSEL NO 574/XI/1975
tanggal 20 oktober 1975 dibentuk lagi kecamatan, yakni kecamatan Bungaya,
sebagai pemekaran kecamatan Tompobulu. Kecamatan persiapan bungaya ini kemudian
didefinisikan dengan PP nomor 34 tahun 1984. Dengan demikian gowa bertambah
menjadi 9 kecamatan. Perkembangan selanjutnya gowa menjadi 6 kecamatan, yakni:
Kecamatan Somba Opu, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bontonompo, Bontonompo
selatan, Bontomarannu, Pattallasang, Parangloe, Manuju, Tinggimoncong,
Tombolopao, Bungaya, Bontolempangan, Biringbulu, dan Tompobulu.
- Masa Otonomi
Pada
perkembangan selanjutnya, juga menyangkut alasan pendekatan pelayanan, maka
akhir-akhir ini telah dibentuk lagi tiga kecamatan yakni kecamatan Tombolopao
sebgai pecahan dari kecamatan Tinggimoncong, Kecamatan Biringbulu sebagai
pecahan dari kecamatan Tompobulu dan Kecamatan Barombong sebagai pecahan dari
Kecamatan Pallangga. Tidak menutup kemugkinan pada perkembangan selanjutnya,
Kecamatan tersebut akan bertambah sesuai tuntutan zaman
Pada era otonomi sekarang ini yang didasarkan pada UU nomor 22/1999 urusan pemerintahan yang diserhakan ke Gowa terus bertambah, karena dihapusnya beberpa kandep menjadi Dinas. Hanya saja dalam pelaksanaanya, UU nomor 22/1999 tersebut tidak dijalankan secara murni, sehingga ada beberapa urusan yang sebenarnya bisa dikerjakan daerah tetapi masih dikelola oleh pusat, seperti penyerahan aset PKG. Namun aset PKG belakangan ini sudah diserahkan sepenuhnya kepada Pemda Gowa. Selanjutnya UU no.22/1999 ini dirubah dengan lahirya UU no 32 tahun 2005 tentang Pemerintahan daerah.ada perkembangan selanjutnya, juga menyangkut alasan pendekatan pelayanan, maka akhir-akhir ini telah dibentuk lagi tiga kecamatan yakni kecamatan Tombolopao sebgai pecahan dari kecamatan Tinggimoncong, Kecamatan Biringbulu sebagai pecahan dari kecamatan Tompobulu dan Kecamatan Barombong sebagai pecahan dari Kecamatan Pallangga. Tidak menutup kemugkinan pada perkembangan selanjutnya, Kecamatan tersebut akan bertambah sesuai tuntutan zaman.
Pada era otonomi sekarang ini yang didasarkan pada UU nomor 22/1999 urusan pemerintahan yang diserhakan ke Gowa terus bertambah, karena dihapusnya beberpa kandep menjadi Dinas. Hanya saja dalam pelaksanaanya, UU nomor 22/1999 tersebut tidak dijalankan secara murni, sehingga ada beberapa urusan yang sebenarnya bisa dikerjakan daerah tetapi masih dikelola oleh pusat, seperti penyerahan aset PKG. Namun aset PKG belakangan ini sudah diserahkan sepenuhnya kepada Pemda Gowa. Selanjutnya UU no.22/1999 ini dirubah dengan lahirya UU no 32 tahun 2005 tentang Pemerintahan daerah.ada perkembangan selanjutnya, juga menyangkut alasan pendekatan pelayanan, maka akhir-akhir ini telah dibentuk lagi tiga kecamatan yakni kecamatan Tombolopao sebgai pecahan dari kecamatan Tinggimoncong, Kecamatan Biringbulu sebagai pecahan dari kecamatan Tompobulu dan Kecamatan Barombong sebagai pecahan dari Kecamatan Pallangga. Tidak menutup kemugkinan pada perkembangan selanjutnya, Kecamatan tersebut akan bertambah sesuai tuntutan zaman.
Demikian Gowa dalam perkembangan
sesudah masa kemerdekaan sebagai salah satu diantara 23 daerah tingkat II di
Sulawesi Selatan. Sejak mengalami perubahan pemerintahan dari kerajaan ke
negara kesatuan, sudah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan sesuatu
periode, masing-masing:
- Andi Idjo karaeng lalolang 1957 – 1960
- Andi Tau 1960 – 1967
- M Yasin Limpo Carateker
- S Mas’ud 1967 – 1976
- M Arif Sirajuddin 1976 – 1984
- A Kadir Dalle 1984 – 1989
- Azis Umar 1989 – 1994
- Syahrul Yasin Limpo, SH 1994 – 1999
- Drs H.Syamsu Alam Bulu Carateker
- Syahrul Yasin Limpo,SH,Msi 1999 – 2004
- H.Hasbullah Jabar, Msi 2004 – 2005
- H.A.Baso Mahmud 2005
- Ichsan Yasin Limpo,SH 2005 – 2010
Adapun nama-nama yang menjadi Ketua
DPRD Tingkat II Gowa setelah lahirnya UU nomor 29/1959 adalah :
- Abdul Karim Boko (1966 – 1971)
- Patturungi Parawangsa (1971 – 1977)
- Hafied (1977 – 1982)
- Abd Gaffar (1982 – 1987)
- Sulaeman (1987 – 1992)
- Ramli Rewa (1992 – 1997)
- H Kadir Dalle (1997 – 1999)
- H. Mallingkai Maknum (1999 – 2004)
- Drs H. Mallingkai Maknun (2004 – 2009)
-
Kecamatan Tinggi Moncong
- Serangan Umum Kota Malino
Sejak Proklamasi dikumandankan pada 17 Agustus 1945 masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di daerah Gowa sudah menyatakan tekadnya untuk terus mempertahankan kemerdekaan. Kedatangan tentara Belanda berboncengan dengan tentara NICA dari Australia, membuat masyarakat Gowa semakin gigih mempertahankan kemerdekaan, walau hanya bersenjatakan bambu runcing, tetapi berkat semangat Abbulo Sibatang, toh mampu melakukan perlawanan dengan musuh yang menggunakan senjata modern.
Untuk mengetahui secara jelas tentang peristiwa Malino berdarah Desember 1946 ini, berikut ini hasil wawancara dengan tokoh pejuang dari Malino H. Abd Rauf Dg. Nompo Karaeng Parigi, didampingi cucunya Drs H. Chairil Muin dan Drs H. Mustari Ago, H. Saharuddin Karaeng Lurang dan Bahar Chandra.ejak Proklamasi dikumandankan pada 17 Agustus 1945 masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di daerah Gowa sudah menyatakan tekadnya untuk terus mempertahankan kemerdekaan. Kedatangan tentara Belanda berboncengan dengan tentara NICA dari Australia, membuat masyarakat Gowa semakin gigih mempertahankan kemerdekaan, walau hanya bersenjatakan bambu runcing, tetapi berkat semangat Abbulo Sibatang, toh mampu melakukan perlawanan dengan musuh yang menggunakan senjata modern.Kota Malino merupakan salah satu markas pertahanan Belanda di wilayah Timur Gowa. Disanalah untuk pertamakali negara Indonesia Timur yang diceruskan oleh Van Mook pada Konfrensi 15-25 Juli 1946. Dari upaya politik pecah belah itu, beberapa tokoh pejuang dari Gowa dan daerah lainnya di Indonesia, pada awal tahun 1946 melakukan pertemuan rahasia di Limbua (Saluttowa) tempat kediaman Sulaeman Dg. Jarung sebagai pemenang mandat dari pimpinan organisasi kelaskaran PPNI dan KRIS yang ada di Makassar untuk menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan dan siap berjuang menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali.Beberapa tokoh masyarakat yang berpengaruh di Malino, yakni Sulaeman Dg. Jarung, Mappatangka Dg. Rani (Karaeng Parigi), Andi Baso Makkumpella (Aru Pao), Andi Mangerangi sebagai Hulf Bestur Asistent (HBA) dan dibantu oleh beberapa orang pemuda dari ekx Heiho dan Bo-El Tei Sintai dari Makassar. Disamping melakukan pencarian sisa-sisa senjata perang dunia kedua peninggalan Jepang.Atas upaya itu, beberapa pemuda dari Malino dan daerah lainnya berbondong-bondong datang secara sukarela untuk mendaftarkan diri mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.Di rumah Karaeng Jarung inilah, R. Endang, Sangkala Lewa dan Abd Rasyid selaku unsur pimpinan KRIS dari Makassar Gowa timur seusai memimpin pertempuran antara gabungan kelaskaran (PPNI, KRIS dan HI) dengan pasukan KNIL/Belanda di Bontotene Gunungsari pada pertengahan November 1946. Disamaping itu, sebelumnya sudah ada beberapa tentara yang, memberi latihan militer pada pemuda sukarelawan ini di Limbua. Pemuda yang datang dari awal itu adalah M. Daud Sija dan Andi Yunus (Keduanya Ex Heiho). Disusul tentara merah putih lainnya, yakni Tapping Dg. Rumpa (Ek Heiho Makassar), Dikol (ex Romusha dari Jawa), Salman Dg. Liwang, Salim Senen (Heiho Makassar), Abd Rauf Dg. Nompo (Ex Bo El Teisintai dari Tidung Makassar), Mahmud Koddo (Ex Seinen dan), Dudung Dh. Ngago dari Tidung, Paddu Dg. Nassa dari Tidung, Paimin (eks Heiho), M Arsyad (eks Bo El Teisintei), Abd Halik (Ex Heiho) Rais Nyampa dari Makassar, Parawangsa Dg. Tayang dari Malino.Di Kampung Limbua ini pula, Tibi Dg. Tata (Anrong guru Jonjo), Colleng Dg. Ngalle Karaeng Longka, Basri Dg. Solong, Muh Saleng Dg. Ngemba dan Pasengka Dg. Nyitto menerima tugas untuk memantapkan pemahaman masyarakat tentang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.Di kota Malino saat itu Belanda telah menempatkan satu pleton KNIL = Koninlijke Nederlandche Indie Leger (Angkatan Darat Kerajaan Belanda) dan satu pleton KM = Koninlijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda dan sepasukan polisi NICA.Pertemuan rahasia yang diadakan pada awal September 1946 itu yang diprakarsai Sulaeman Dg. Jarung didampingi Sangkala Lewa dan Samiung, menguatkan tekad untuk merebut kembali kota Malino yang dikuasai belanda yang direncanakan 18 Desember 1946.Namun sebelumnya, di Malino sudah diwarnai peristiwa berdarah, seperti pada pada tanggal 16 Desember 1946, Aspiran Controleur Gowa FR Westhoef atau Tuan Petero, dengan menggunakan kendaraan SW-Power telah tiba di Tombolo. Disana Tuan Petoro membagi-bagi pakaian pada rakyak dengan harapan bisa merebut simpati masyarakat dan mau mengakui pemerintah NICA Belanda. Namun kedatangan Tuan Petoro di Pao sudah diwanti-wanti oleh pemuda setempat diantaranya Karaeng Pado dan Karaeng Tea. Atas petunjuk Aru Pao Andi Baso Makkupella, Tuan Petoro jangan dibunuh di Pao, tetapi harus dihadang di Bulubellayya 10 Km arah timur Malino. Rencana pembunuhan Tuan Petoro terlaksana keesokan harinya yakni 17 Desember 1946.Atas penghadangan itu, pemuda telah berhasil merampas 1 senjata jenis karabyn dan satu pucuk pistol Vickers. Peristiwa ini sempat dilaporkan kepada pimpinan umum kelasykaran yang sementar ada di kampung Padang Malulu Longka wilayah distrik parigi oleh Parawangsa Dg. Tayang juga salah seorang kelompok penghadang Tuan Petoro.Pada 17 Desember 1946 itu pula, dua orang anggota polisi penjara Malino masing-masing Sattu Bampa dan Nyala Kancing yang mendapat tugas mengawal orang-orang yang bekerja di lapangan untuk mengangkut bahan bangunan asrama KM (Angkatan Laut Belanda) melarikan diri dengan membawa serta sekitar 40 orang tawanan dan 2 pucuk senjata api jenis Ouengun dan Karabyn. Kedua orang itu selanjutnya mengabungkan diri pada kelaskaran di Padangmalulu.Atas peristiwa itu, Pimpinan Kelaskaran KRIS Gowa Timur Bung Endang dan Sulaeman Dg. Jarung mengambil keputusan, bahwa Malino sudah harus diserang besok Tanggal 18 Desember 1946 yang akan dipimpin langsung oleh Bung Endang, sebab saat itu Belanda sudah siap untuk melakukan pembalasan atas terbunuhnya Tuan Petoro.Pada Tanggal 18 Desember 1946 sekitar jam 09.00, sekitar 500 orang laskar dibawah pimpinan Endang dengan senjata tradisional, bambu runcing serta beberapa pucuk senjata hasil rampasan. Penyerangan dilakukan dengan dua arah, dari arah barat (dari Benteng Tinggia) sebanyak 200 orang dipimpin langsung Bung Endang dengan dibantu 10 orang pemuda, yakni Tapping Dg. Rumpa, Paimin, Salem Senen, Abd Rauf Dg. Nompo, Didun Dg. Ngago, Mahmud Koddo, Basse Dg. Lesang, Tawiri, Paddu Dg. Nassa dan Beru.Kelompok ini menyerbu kedudukan KM (Angkatan Laut Belanda) yang bermarkas di bagian barat kota Malino (sekarang SMP Malino). Sedang Laskar dari arah selatan (dari Lombasang dan Buluttana) sebanyak 300 orang, dimana didalamnya turut serta Colleng Dg. Ngalle (Karaeng Longka) dan Tibi Dg. Tata (Anrong guru Jonjo) dengan 11 orang tenaga inti dari pemuda yakni : Sattu Bampa, Abd Halik, Arsyad, Pasengka Dg. Nyitto, Rais Nyampa, Salman Liwang, Ruddin Liwang, Sangkala Dg. Kila, M. Saleh Dg. Ngemba, Dikul dan Nyala Kancing.Kelompok ini menyerbu kedudukan Polisi di kantor HBA (Hulf Bestur Assitant) dan KNIL yang berkedudukan sekitar 300 meter sebelah timur Pasangrahan Malino.Kesulitan pertama yang dialami anggota laskar adalah, penyerbuan malam itu, belanda dalam keadaan siap siaga yang disebabkan oleh peristiwa pembunuhan Tuan Petoro dan dua orang polisi penjara Malino melarikan diri dengan membawa serta tawanan dan senjata.Pertempuran pada malam 18 Desember itu berlangsung seru selama kurang lebih 4 jam, membuat pasukan KNIL, dan KM kewalahan menghadapi laskar merah putih. Serbuan dari semua arah itu dengan pekikan “Merdeka, Maju, Serbu” akhirnya pihak laskar berhasil melewati kawat berduri.Namun dari serbuan itu, rupanya anggota yang ditugasi untuk melakukan sabotase dari arah barat tidak terlaksana, yakni jembatan Lebong tidak dirusak demikian juga tidak dilakukan penebangan pohon dipinggir jalan, sehingga sangat mudah truk tentara KNIL memasuki Malino.Pertempuran yang banyak menelan korban itu, tiba-tiba dari arah barat datang bantuan tentara Belanda dengan membawa persenjataan modern. Masih diatas Truk, tentara kemudian mengarahkan senjata otomatis pada arah penyerbu. Berondongan senjata otomatis itu membuat pihak laskar banyak yang gugur dan mundur untuk menyelamatkan diri.Penyerbuan markas Malino ini sempat diomonitor oleh instansi pemberitaan di daerah Republik (Jogyakarta), sehingga dalam buku Dokumenta Historika Sejarah dokumenter dan pertumbuhan dan perjuangan negara RI yang tercatat antara lain peristiwa penting bulan Desember 1946.Kota Malino saat itu diserang sekitar 500 orang Indonesia yang bersenjata lengkap memukul mundur pasukan merah putih. Keesokan harinya 19 Desember 1946 pihak Belanda mulai melakukan serangan balasan ke kubu pejuang yang ada di Kampung Limbua, Kampung Tombolo dan Kampung Padang Malulu. Mereka membakar rumah penduduk dan mencari tokoh perjuang serta merampas harta benda masyarakat.Pimpinan pasukan Bung Endang, ketika berada di Limbua kala itu sempat melontarkan kata-kata : “Kali ini kita belum berhasil merebut kota Malino, tetapi selangkah kita telah membuat Belanda panik. Sekali lagi Belanda dan bangsa lainnya akan lebih tahu bahwa bangsa Indonesia sudah tak sudih dijajah. Pengorbanan kawan-kawan yang gugur di Malino dan pengorbanan kita semua ini kalau sampai waktunya tidak akan sia-sia, Indonesia pasti merdeka”. Inilah kata-kata terakhir dari Bung Endang sebagai Pimpinan umum Kelaskaran KRIS Gowa Timur dan Pimpinan pertempuran atas serangan terhadap kota Malino. Dua hari kemudian, Endang dan Abd Rayid Nappa gugur dalam penyergapan tentara Belanda di kampung Bikakaru, sekitar 2 KM sebelah barat Kampung Lebong.Atas serbuan Belanda yang bertubitubi itu, di Kampung Asana 21 Desember 1946 Bung Endang mengadakan brifing pada laskar merah putih, minta pada pimpinan laskar supaya melakukan konsolidasi serta mengembalikan semangat anggota yang mengalami kegoncangan akibat kegagalan penyerangan kota Malino.Sesudah Konsolidasi, Endang menyuruh 3 stafnya masing-masing Sangkala Lewa, Abd Azis Dg. Marewa dan Saleh Dg. Sele untuk ke Makassar menemui pucuk pimpinan kelaskaran KRIS di Tanjung Bunga sambil melaporkan situasi di Gowa Timur setelah serangan kota Malino. Serta minta tenaga laskar yang berpengalaman dengan persenjataan secukupnya untuk rencana penyerangan ulang kota Malino.Perjalanan panjang ketiga utusan itu ditempuh selama 2 hari, mereka menelusuri alur Sungai Jeneberang yang dianggap aman dari tentara Belanda. Sesampainya di Tanjung Bunga, Sangkala Lewa sempat bertemu dengan pimpinan KRIS Said Hasan bin Tahir. Sangkala Lewa kemudian menyampaikan pesan bung Endang, agar diusahakan bantuan laskar yang berpengalaman dan persenjataan secukupnya untuk rencana serangan kedua kalinya.Dari hasil pertemuan itu, Bung Kadir dan Karaeng Narang mendapat tugas memimpin pasukan gabungan yang akan ditugaskan di Malino. Pasukan tersebut dinamai pasukan gabungan karena terdiri dari laskar PPNI, KRIS, dan HI. Pada 24 Desember 1946 malam, pasukan Kadir dengan jumlah sekitar 130 orang yang diperkuat sebanyak 30 pucuk senjata.Rombongan pasukan pimpinan Kadir dan Karaeng Narang berangkat ke arah utara timur laut Kampung Kaccia Sapiria (sebelah barat kampung Taeng menyeberang Sungai Jeneberang masuk ke Mallengkeri lewat jalan raya Gunungsari dan Tala Salapang menuju Romangpolong. Kemudian lanjut ke Jene Madingin, terus ke Pattiro (Bontomarannu bermalam. Keesokan harinya (26/12-1946) rombongan melanjutkan perjalanan ke Panyangkalang, Allukeke dan tiba di Parangloe dan bermalam. Pada 27 Desember 46 lanjut perjalanan dan tiba di Sungai Batu Tallenggowa pada jam 9 pagi. Rombongan yang beberapa hari tidak mandi, mereka mandi di sungai itu. Tetapi tiba-tiba ada serangan dari tentara KNIL yang tak jauh dari tempat mandi. Rupanya tentara KNIL sudah mengepung tempat itu. Hal tersebut, karena bung Endang tewas saat itu sehingga rencana penyerbuan bocor ke pihak belanda dan mereka berusaha menutup semua jalan yang dilalui pasukan merah putih.Atas serangan itu, 9 orang laskar merah putih gugur, yakni; Abd Wahab Dg. Sele, Muh Jafar Dg. Rombo, Abd Salam Sembo, Abd Salam Bayang, Muh. Tahir, Abd Rauf Sakka, Larigau Dg. Tayang, Sangkala Pos dan Muh. Ilyas serta menangkap beberapa orang laskar kemudian mereka bunuh. Puluhan lainnya luka dan dapat diselamatkan dan dibawa mundur ke Jene Madingin.Atas serangan pada bulan Desember 1946 itu, tercatat 92 pasukan laskar merah putih yang gugur. Disamping masih banyak laskar lainnya yang tak diketahui dimana kuburannya. Banyak diantaranya yang dihanyutkan ke sungai dan hingga kini kuburannya belum ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar